Selasa, 27 September 2016

SOCIAL SUPPORT



Pelecehan seksual adalah salah satu dari bentuk kekerasan yang sering dialami oleh anak. Dalam hal ini sebagian besar yang menjadi korban adalah anak-anak remaja perempuan. Ironisnya sebagian besar yang menjadi pelaku adalah orang-orang terdekat korban. Diantaranya, pacar, anggota keluarga, ataupun guru.
 Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, adanya ancaman, adanya bujuk rayu, sampai pada adanya pemberian imbalan menjadi factor eksternal terjadinya pelecehan seksual. Sementara itu factor internal adalah pada ranah keluarga, dimana keluarga yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak, justru pada beberapa keluarga komunikasi antara anak dan orangtua dirasa kurang. Kurangnya rasa kepercayaan antara satu sama lain dalam anggota keluarga atau dengan kata lain minimnya keharmonisan yang dimiliki dalam suatu keluarga. Hal ini menyebabkan seorang anak, terlebih remaja akan mencari tempat perlindungan diluar keluarganya, yang dirasa bisa menjadi pemuas kebutuhan akan kasih sayang bagi mereka.
Berharap mendapat  kasih sayang, tempat aman untuk berbagi cerita, tidak sedikit mereka justru mendapat kekerasan. Salahsatunya adalah perlakuan pelecehan seksual yang tidak hanya berdampak pada fisik saja, tetapi juga adanya dampak psikis. Dalam hal ini dampak psikis yang sering muncul pada korban adalah menyalahkan diri, merasa tidak berdaya, malu, cemas, menutup diri, insomnia, fobia, depresi, trauma, psikosomatis.
Tidak berhenti pada dampak fisik dan psikis, namun juga adanya dampak sosial yang harus ditanggung oleh korban dan keluarga.  Disalahkan oleh masyarakat, digunjing, dikucilkan, diminta mengundurkan diri dari sekolah menjadi hal yang harus ditanggung oleh korban. Tidak hanya itu bahkan kurangnya mendapat kebebasan berbuhubungan dengan dunia luar setelah mendapat perlakuan pelecehan seksual.
Minimnya social support dari berbagai pihak membuat anak yang menjadi korban kekerasan seksual seolah-olah sudah tidak memiliki ruang bagi diri mereka sendiri. Semua bergantung pihak-pihak yang berhubungan tanpa mau mengetahui apa yang dirasa, dan menjadi kebutuhan korban.
Mengacu pada Teori Hierarky Maslow (Hierarky Of Maslow) menyatakan bahwa variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat dipenuhi hanya jika jenjang sebelumnya telah (relatif) terpuaskan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah :
1.           Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah). Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.
2.            Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs) Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.
3.            Kebutuhan sosial (Social Needs). Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.
4.            Kebutuhan akan prestasi atau harga diri (Esteem Needs). Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya se¬seorang serta prestise yang ditampilkannya.
5.           Kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization). Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang.
   Dalam situasi diatas salah satu kebutuhan korban adalah motivasi harga diri (self esteem). Ada dua jenis harga diri : 1. Menghargai diri sendiri (self respect) : kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. 2. Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from other) : kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, dan status. Dalam hal ini, kita sebagai bagian dari masyarakat bisa ikut dalam berkontribusi bagi mereka. Khususnya pada point dua yaitu adanya perhargaan dari orang lain. Kita bisa ikut terlibat dalam memberikan penghargaan, misalnya dengan cara tetap mau menajadi teman, bukan justru menjauhi. Menjadi tempat yang bisa menjadi sumber informasi bagi mereka, atau bahkan menjadi pendamping (paralegal) atau apapun sesuai kapasitas kita. Hal ini diharapkan berdampak pada peningkatan rasa percaya diri korban. At least, sekecil apapun dukungan kita bagi mereka sangatlah membantu, berapun prosentasenya. (Novita Sari)


Rabu, 14 September 2016

Intervensi Kehidupan

Sebaik-baik manusia adalah yang bisa bermanfaat untuk sekitarnya, itu jika versi agama. Atau mungkin bahasa umumnya “ Jangan tanya apa yang sudah diberikan sekitarmu untuk kamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan untuk sekitarmu ?”. Pasti hampir dari setiap kita sering mendengar kata-kata tersebut. Dua ungkapan ini jika kita kaitkan maka akan saling berhubungan. Ungkapan pertama mengajak kita untuk bisa bermanfaat bagi semua yang berada disekitar kita, mungkin contoh kecil dengan mengingatkan atau mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu. Sementara ungkapan kedua seakan-akan mengatakan bahwa sudahlah kenapa kamu meminta sekitar kamu melakukan sesuatu, kenapa tidak kamu sendiri yang melakukan. Lakukan saja dulu baru lihat apa dampak dari yang kamu lakukan maka sekitar akan turut serta, dengan catatan yang kamu lakukan memang berdampak besar. Mari kita telaah, sebenarnya masih relevankah kata-kata ini dengan kondisi kehidupan saat ini yang pada kenyataannya banyak menuntut sekitar untuk bisa berkontribusi pada kita bukan apa yang sudah kita bagi pada sekeliling kita. Ribuan intervensi sering dilakukan hanya untuk membuat sekitar bisa seperti yang diingikan bahkan berkontribusi pada kita. Sesuai keinginan kita. atau dalam kata lain dinamakan intervensi.
Menurut wikipedia intervensi adalah sebuah istilah dalam dunia politik dimana ada negara yang mencampuri urusan negara lainnya yang jelas bukan urusannya. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intervensi/in·ter·ven·si/ /intervĂ©nsi/n campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya);. Lebih luas lagi intervensi bisa diartikan campur tangan atau keikutsertaan pada urusan orang lain.
Sebagai contoh mengenai intervensi saya tidak akan menunjuk orang lain, saya akan bercermin pada diri sendiri. Mungkin tidak semua bisa saya ungkap tentang intervensi yang telah saya lakukan pada sekitar saya. Contoh kecil adalah beberapa saat lalu, Lembaga Setara Ottonom (LSO) Jurnalistik Mahasiswa Psikologi (JURMAPSI) yang kala itu sedang sibuk dengan mading edisi 6, tema yang kami usung kala itu adalah “Hari Guru”. Deadline yang kami sepakati waktu itu naskah masuk terakhir tanggal 23 November 2015 dengan content yang sudah kami sepakati juga. Fakta yang jelas sekali terlihat saat itu adalah tepat ditanggal 25 November, yang harusnya jadi momment peringatan hari guru, justru beberapa content masih belum ada, bahkan masih pada tahap penulisan. Harapan yang sudah saya tulis dalam benak saya adalah tepat tanggal 25 November edisi baru sudah dapat dinikmati di Mading Gantari kami, tapi ternyata kembali harapan dan kenyataan berada pada jalur yang berbeda. Lebih parah lagi ketika salah satu adik tingkat yang saya tanya hanya memberikan jawaban, “Woles, telat sehari dua hari khan nggak papa Mbak. Yang penting tetap terlaksana”. Ok, mungkin saya terlalu dini dalam merespon hal tersebut, sehingga feedback yang saya berikan justru emosi yang berlebihan. Saya menuntut mereka seperti apa yang saya inginkan.
Cerita tersebut hanya contoh kecil intervensi yang mungkin kerap tidak disadari oleh teman-teman saya, atau bisa juga mereka merasakan tapi tidak mau atau bahkan tidak berani mengungkapkan. Banyak lagi intervensi yang saya lakukan. Suatu ketika saya mencoba merenungkan banyaknya intervensi-intervensi yang telah saya lakukan pada kehidupan pribadi dan sekitar. Menggali lebih dalam lagi, memori ini justru mengingatkan bahwa diri ini juga tidak jarang mengintervensi Tuhan. Ampuni aku Ya Rab….
Hingga detik ini sebenarnya saya masih belum bisa memberikan makna apakah memberikan intervensi pada sekitar itu merupakan salah satu strategi untuk bisa mewujudkan diri dalam menciptakan “Manusia yang baik adalah yang mampu berguna untuk sekitar”. Atau ini justru bentuk sanggahan dari ungkapan “Jangan tanya apa yang sudah diberikan sekitarmu untuk kamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan untuk sekitarmu”. Ketika saya mencoba berdiskusi dengan hati dan pikiran saya, bukannya jawaban yang saya dapat, tapi justru pertanyaan yang semakin menumpuk dalam otak ini.
Dari sinilah saya mengajak diri sendiri belajar untuk memilah kapan saya harus melakukan intervensi atau tidak. Saya belajar untuk mengintervensi dalam hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri, misalnya timeline kegiatan-kegiatan saya. Sementara untuk sekitar saya berusaha untuk meminimalisir adanya segala bentuk intervensi. Saya cukup menanyakan, jika mendapat respon dan jika ada yang saya dapat lakukan untuk membantu sekitar akan saya lakukan. Namun jika tidak mendapat respon untuk selanjutnya saya hanya akan memperhatikan. Bukan karena saya pasif, tapi kembali pada tujuan awal saya untuk mengurangi segala bentuk intervensi.
Mengakhiri tulisan ini saya ingin menyampaikan jutaan, bahkan lebih permintaan maaf saya pada siapapun atau pihak manapun yang sering saya intervensi. Lebih dalam lagi Tuhan… maaf untuk intervensiku padaMu.*Bluenovelis

FIGHT OR FLIGHT

Hidup itu simple. Hidup itu mudah. Hidup itu gampang. Kira-kira seperti itulah kata-kata yang sering kali hinggap ditelinga kita mengenai hidup. Ketika hidup itu memang simple harusnya tidak ada yang namanya masalah, tangisan, stress, depresi, atau yang paling parah lagi di negara lain mereka sampai nekad mengakhiri hidupnya. Jika sudah seperti itu apa iya hidup itu simple, mudah, ????
Kadang saya pun bingung, ketika mendengar curahan hati orang-oang yang ada disekitar saya. Puluhan, ribuan, atau mungkin jutaan kali ya mereka mengeluhkan hidup mereka. Tidak sepaham dengan orangtua, bosen kuliah, capek sama kerjaan, bertengkar sama pacar, berselisih pendapat sama sahabat, dan masih banyak lagi problem yang mereka hadapi. Kalau sudah seperti itu yang muncul dalam otak ini adalah “ Apa iya hidup itu simple ?? Atau kata simple itu sebenarnya hanya harapan tanpa kenyataan bagi setiap orang ??”
Pernah suatu ketika saya mencoba membincang dengan dosen terkait kehidupan. Lebih tepatnya “Masalah” dalam hidup. Kala itu saya masih semester dua.
” Buk, sebenarnya hidup itu harus bagaiamana, agar bisa simple?”, tanyaku setelah selesai mata kuliah konseling.
Dosen saya tidak langsung memberikan jawaban. Beliau justru balik memberikan saya pertanyaan, “Menurut kamu sendiri ada tidak, manusia yang tidak punya masalah?”. Begitulah dosen saya melemparkan pertanyaan pada saya.
“Nggak ada buk. Kalo ada manusia yang tidak punya masalah, justru menurut saya kehidupan orang itu yang bermasalah”, begitulah saya menjawab sambil tersenyum. “Sebenarnya masalah itu adalah kesenjangan antara harapan dan fakta yang ada didepan kita. sering kali seseorang, atau mungkin diri kita sendiri kurang bisa menerima suatu keadaan dalam hidup kita yang tidak sesuai dengan harapan kita. Nah, ketika harapan dan fakta ini sudah tidak bisa bersatu inilah, seseorang merasa orang-orang disekitarnya tidak adil, bahkan ada pula yang langsung menyalahkan Tuhan. Jika sudah seperti ini sudah dapat dipastikan sedih, stress, depresi, bahkan nafsuh makan pun tidak jarang menjdi berkurang”. Beliau berhenti sejenak, menarik nafas agak panjang kemudian melanjutkan menjawab pertanyaan saya. “Sebenarnya bukan hidup yang simple, tapi cara pandang kita terhadap masalah yang kita alami itulah yang membuat hidup kita simple. Jika kamu punya masalah pilihannya hanya dua. Fight or Flight. Kalau kamu merasa bahwa masih sanggup untuk menghadapinya silahkan kamu Fight, sebaliknya kalau kamu sudah merasa tidak sanggup cukup Flight, tinggalkan. Pastikan diantara Fight or Flight itu kamu harus mampu menanggung semua konskuensi yang mengikutinya. pilih konsekuensi yang bisa kamu hadapi”, begitulah beliau mengakhiri penjelasannya.
Sejak itu saya berusaha memetakan diri sendiri, agar suatu saat nanti ketika giliran saya yang berada pada posisi ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, saya sudah siap untuk memilih Fight or Flight. Satu yang saya coba perhatikan juga adalah orang-orang disekitar kita. Mungkin yang kita jalani itu memang hidup kita, tapi yang perlu kita ingat juga adalah bahwa dalam kehidupan kita berdampingan dengan kehidupan orang lain pula. Nah, silahkan menikmati dan membuat hidup kita menjadi simple, tapi yang peru diingat adalah keberadaan orang yang ada disekitar kita juga. Bagaimana dengan kamu ??? FIGHT or FLIGHT???