Rabu, 14 September 2016

Intervensi Kehidupan

Sebaik-baik manusia adalah yang bisa bermanfaat untuk sekitarnya, itu jika versi agama. Atau mungkin bahasa umumnya “ Jangan tanya apa yang sudah diberikan sekitarmu untuk kamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan untuk sekitarmu ?”. Pasti hampir dari setiap kita sering mendengar kata-kata tersebut. Dua ungkapan ini jika kita kaitkan maka akan saling berhubungan. Ungkapan pertama mengajak kita untuk bisa bermanfaat bagi semua yang berada disekitar kita, mungkin contoh kecil dengan mengingatkan atau mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu. Sementara ungkapan kedua seakan-akan mengatakan bahwa sudahlah kenapa kamu meminta sekitar kamu melakukan sesuatu, kenapa tidak kamu sendiri yang melakukan. Lakukan saja dulu baru lihat apa dampak dari yang kamu lakukan maka sekitar akan turut serta, dengan catatan yang kamu lakukan memang berdampak besar. Mari kita telaah, sebenarnya masih relevankah kata-kata ini dengan kondisi kehidupan saat ini yang pada kenyataannya banyak menuntut sekitar untuk bisa berkontribusi pada kita bukan apa yang sudah kita bagi pada sekeliling kita. Ribuan intervensi sering dilakukan hanya untuk membuat sekitar bisa seperti yang diingikan bahkan berkontribusi pada kita. Sesuai keinginan kita. atau dalam kata lain dinamakan intervensi.
Menurut wikipedia intervensi adalah sebuah istilah dalam dunia politik dimana ada negara yang mencampuri urusan negara lainnya yang jelas bukan urusannya. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intervensi/in·ter·ven·si/ /intervénsi/n campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya);. Lebih luas lagi intervensi bisa diartikan campur tangan atau keikutsertaan pada urusan orang lain.
Sebagai contoh mengenai intervensi saya tidak akan menunjuk orang lain, saya akan bercermin pada diri sendiri. Mungkin tidak semua bisa saya ungkap tentang intervensi yang telah saya lakukan pada sekitar saya. Contoh kecil adalah beberapa saat lalu, Lembaga Setara Ottonom (LSO) Jurnalistik Mahasiswa Psikologi (JURMAPSI) yang kala itu sedang sibuk dengan mading edisi 6, tema yang kami usung kala itu adalah “Hari Guru”. Deadline yang kami sepakati waktu itu naskah masuk terakhir tanggal 23 November 2015 dengan content yang sudah kami sepakati juga. Fakta yang jelas sekali terlihat saat itu adalah tepat ditanggal 25 November, yang harusnya jadi momment peringatan hari guru, justru beberapa content masih belum ada, bahkan masih pada tahap penulisan. Harapan yang sudah saya tulis dalam benak saya adalah tepat tanggal 25 November edisi baru sudah dapat dinikmati di Mading Gantari kami, tapi ternyata kembali harapan dan kenyataan berada pada jalur yang berbeda. Lebih parah lagi ketika salah satu adik tingkat yang saya tanya hanya memberikan jawaban, “Woles, telat sehari dua hari khan nggak papa Mbak. Yang penting tetap terlaksana”. Ok, mungkin saya terlalu dini dalam merespon hal tersebut, sehingga feedback yang saya berikan justru emosi yang berlebihan. Saya menuntut mereka seperti apa yang saya inginkan.
Cerita tersebut hanya contoh kecil intervensi yang mungkin kerap tidak disadari oleh teman-teman saya, atau bisa juga mereka merasakan tapi tidak mau atau bahkan tidak berani mengungkapkan. Banyak lagi intervensi yang saya lakukan. Suatu ketika saya mencoba merenungkan banyaknya intervensi-intervensi yang telah saya lakukan pada kehidupan pribadi dan sekitar. Menggali lebih dalam lagi, memori ini justru mengingatkan bahwa diri ini juga tidak jarang mengintervensi Tuhan. Ampuni aku Ya Rab….
Hingga detik ini sebenarnya saya masih belum bisa memberikan makna apakah memberikan intervensi pada sekitar itu merupakan salah satu strategi untuk bisa mewujudkan diri dalam menciptakan “Manusia yang baik adalah yang mampu berguna untuk sekitar”. Atau ini justru bentuk sanggahan dari ungkapan “Jangan tanya apa yang sudah diberikan sekitarmu untuk kamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan untuk sekitarmu”. Ketika saya mencoba berdiskusi dengan hati dan pikiran saya, bukannya jawaban yang saya dapat, tapi justru pertanyaan yang semakin menumpuk dalam otak ini.
Dari sinilah saya mengajak diri sendiri belajar untuk memilah kapan saya harus melakukan intervensi atau tidak. Saya belajar untuk mengintervensi dalam hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri, misalnya timeline kegiatan-kegiatan saya. Sementara untuk sekitar saya berusaha untuk meminimalisir adanya segala bentuk intervensi. Saya cukup menanyakan, jika mendapat respon dan jika ada yang saya dapat lakukan untuk membantu sekitar akan saya lakukan. Namun jika tidak mendapat respon untuk selanjutnya saya hanya akan memperhatikan. Bukan karena saya pasif, tapi kembali pada tujuan awal saya untuk mengurangi segala bentuk intervensi.
Mengakhiri tulisan ini saya ingin menyampaikan jutaan, bahkan lebih permintaan maaf saya pada siapapun atau pihak manapun yang sering saya intervensi. Lebih dalam lagi Tuhan… maaf untuk intervensiku padaMu.*Bluenovelis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar