Hari ini
seperti biasanya. Masih di bulan Desember. Bulan yang menjadi penghujung bulan
di akhir tahun. Bulan dimana banyak sekali target-target yang harus
diselesaikan sebelum menginjak pada tahun berikutya. Bulan yang oleh umat yang
beragama lain, begitu mereka tunggu karena pada bulan ini mereka merayakan hari
besar mereka. Pada bulan ini pula hampir setiap harinya diwarnai dengan awan
yang redup, hembusan angin yang cukup kencang sehingga dinginya bisa menusuk
tulang, serta satu lagi yang membuat ini begitu istimewa, yah setidaknya
bagi diri ini sendiri, karena hampir
setiap hari diri ini bisa berkencan dengan hujan.
Ya, hujan.
Entah mengapa, setiap hujan turun itulah, diri ini semakin jatuh cinta dengan
Mu. Mungkin bagi sebagian orang hujan hanyalah sebuah fenomena alam saja.
Proses yang dimulai dengan naiknya air laut karena proses penguapan dengan
bantuan sinar matahari, lalu menggumpal yang kita kenal dengan awan, lalu
kembali turun ke bumi dalam bentuk tetesan-tetesan air dalam jumlah banyak yang
disebut hujan. Yah setidaknya begitulah yang diterangkan oleh guru pada mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ketika masih dibangku sekolah dasar dulu.
Namun, bagi diri ini hujan bukan hanya sebuah fenomena alam saja.
Ok, mulanya
diri ini tidak begitu menikmati dengan apa yang disebut hujan, tapi diri ini
selalu jatuh cinta pada air. Sungai, pantai, laut, air tejun, waduk, atau yang
lainnya, yang merupakan tempat bernaungnya air. Sampai akhirnya hujan juga
membuat diri ini semakin jatuh cinta padaMU. Hal ini bermula ketika diri ini
masih duduk dibangku sekolah menengah pertama. Hari itu hari Sabtu. Hari dimana
ekstrakurikuler yang diri ini ikuti, teater sedang mengadakan kegiatan latihan
secara rutin. Kegiatan dimulai pukul tiga hingga lima sore. Kala itu memang
sedang berlangsung musim hujan. Latihan sudah selesai begitu waktu menunjukkan
pukul tujuh belas tepat. Banyak teman-teman laki-laki yang lansung pulang,
begitu latihan usai. Namun tidak pada aku dan
teman-teman perempuanku. Kami bersepakat akan menunggu hingga hujan
reda, baru Kami akan pulang. Mata ini tidak bisa berhenti melirik jam yang ada
di dinding. Sudah pukul tujuh belas lewat dua puluh menit. Sementara aturan
yang diterapkan oleh orangtuaku adalah bahwa pukul 18.00 wib semua anggota
keluarga sudah harus dirumah, jika memang masih ada keperluan maka harus
diantar oleh orangtua. Setidaknya begitulah ucapan ibuku, ketika mengingatkan
anak-anaknya. Ingat akan nasihat tersebut akhirnya membuat diri ini
memberanikan diri untuk pulang, dengan konsekuesi kehujanan.
Bersentuhan
langsung dengan tetesan-tetesan air dari langit itu, ternyata tidaklah seburuk
yang ada dalam perkiraan, bahkan semakin sering air itu menyentuh, justru
membuat diri semakin merasakan kenyamanan. Saat itu yang terlintas dalam diri
ini adalah “mungkin seperti inilah cintaNya pada kita, selalu tercurah dengan
derasnya sama halnya seperti air hujan yang turun, mengalir ke bumi, menumbuhkan
rumput-rumput, serta pohon-pohon yang menghijau dan rimbun, mengalir kedalam
tanah yang semuanya akan sangat dibutuhkan oleh setiap dari ciptaanNya.
cintaNya adalah cinta yang tersirat, yang tidak setiap orang mampu
menyadarinya. Sejak saat itulah hujan selalu membuat diri ini jatuh cinta.
Jatuh cinta dengan caranya mencintai setiap mahlukNya. May be this is not
importan for You, but thanks to Your love Gods. #29122016
Amazing... pecinta hujan
BalasHapus